Kampus Wajib Tangkal Radikalisme

KAMPUS diyakini memiliki potensi sebagai sarana atau pintu gerbang masuknya paham radikalisme melalui pendidikan. Karena itu, perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk menangkal agar hal tersebut tidak menjadi kenyataan.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir menegaskan hal itu saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.

M Nasir mengungkapkan pernyataan tersebut menanggapi deklarasi 55 perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PT-KIN), Selasa (2/5), sebagai respons atas merebaknya intoleransi, radikalisme, dan terorisme di masyarakat, termasuk di kampus.

Selaras dengan deklarasi 55 PT-KIN, M Nasir pun mengajak seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang berada di bawah kewenang-an Kemenristek Dikti untuk mendeklarasikan antiradikal-isme, NKRI harga mati, Pancasila, dan UUD 1945 sebagai pandangan hidup masyarakat di Indonesia.

“Yang harus dipahami, kalau terjadi radikalisme, berarti kita tidak menerima perbedaan. Di Indonesia tidak bisa seperti itu karena kita hidup di antara keberagaman. Jadi, mari bersama-sama kita tangkal paham yang bisa merusak generasi bangsa di masa depan,” tandasnya.

Situasi dan perkembangan sosial politik di Indonesia, terutama saat pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, menurut mantan Rektor Universitas Diponegoro itu, diperkirakan menjadi pemicu kembali mencuatnya isu radikalisme di kalangan masyarakat.

“Menangkalnya pun mesti lewat jalur pendidikan. Sejak 2016, Kemenristek Dikti sebenarnya sudah mengeluarkan surat edaran untuk menangkal radikalisme itu melalui pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan,” ujar M Nasir.

Di dalam implementasi, masih kata Menristek, mahasiswa diberikan pemahaman mengenai pentingnya menjaga nilai-nilai kebangsaan dan memperkuat nasionalisme demi menjaga keutuhan NKRI. Perguruan tinggi juga diwajibkan untuk melarang kegiatan apa pun yang berbau radikalisme.

Lebih berbahaya
Ketua Umum Pengurus ­Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil ­Siradj mengatakan radikalisme dan terorisme lebih berbahaya ketimbang pornografi. “Menonton Youtube tentang pornografi lebih ringan daripada terorisme. Terorisme itu lebih bahaya daripada gambar perempuan telanjang,” kata Said di Jakarta, kemarin.

Ia tidak membenarkan tindakan mengonsumsi pornografi, tetapi ingin menunjukkan bahwa terorisme di dunia maya sejatinya memiliki aspek kerawanan karena memberi dampak pada kejahatan kemanusiaan.
Menurut dia, penonton pornografi cenderung akan merasa bersalah, tetapi tidak demikian dengan pelaku terorisme.

Karena itu, Ketua Koordinator Perguruan Tinggi Swasta III Illah Sailah menolak radikalisme dan mendukung Pancasila berdaulat di kalang­an kampus. Namun, untuk mengurangi virus radikalisme, kehidupan yang berkeadilan mesti ditegakkan.

Sementara itu, Institut Pertanian Bogor, kemarin, mengklarifikasi video yang beredar luas terkait dengan ikrar mahasiswa IPB yang mendukung khilafah islamiyah. Dalam klarifikasi itu disebutkan bahwa susunan acara di proposal tidak menyebutkan akan ada deklarasi mendukung khilafah.

You May Also Like

More From Author