Jakarta – Geliat investasi di sektor properti agaknya masih suam-suam kuku. Tengoklah, pergerakan indeks sektor properti pekan lalu turun cukup dalam dibandingkan dengan indeks sektor lainnya. Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks sektor properti terkoreksi 0,77 persen ke level 491,948.
Daya beli masyarakat yang belum pulih ditunjuk sebagai biang keladi lambatnya investasi sektor properti. Maklumlah, banyak masyarakat fokus belanja untuk memenuhi kebutuhan pokok terlebih dahulu.
“Penjualan ritel saja masih melambat. Tentu, konsekuensinya kepada kekuatan masyarakat untuk membeli properti juga melambat,” ujar Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee kepada CNNIndonesia.com, akhir pekan.
Rendahnya daya beli masyarakat juga tercermin dari survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI). Survei bank sentral terkait Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juni 2017 sebesar 122,4 atau turun 3,5 poin jika dibandingkan dengan IKK pada bulan sebelumnya.
Dengan demikian, ini juga mengindikasikan masyarakat tidak terlalu optimis dengan kondisi ekonomi di Indonesia. Jangan heran, penjualan properti belum meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
“Perlambatan investasi properti sudah terjadi tiga hingga empat tahun terakhir ini,” imbuh Hans.
Sementara itu, kondisi ini semakin diperburuk dengan harga properti yang mahal. Sehingga, masyarakat sulit mengejar harga properti yang menjulang tiap tahunnya.
“Cari rumah harga Rp1 miliar saja susah. Bagaimana masyarakat yang baru masuk kerja dengan gaji Rp4 juta-Rp5 juta beli rumah?” katanya.
Lemahnya kemampuan beli masyarakat ini membuat investasi properti tidak bergerak. Dengan kata lain, banyak investor yang tidak dapat menjual aset propertinya dengan harga yang lebih tinggi dari posisi beli.
“Jadi, spekulan properti juga banyak yang investasinya ‘nyangkut’ dananya di properti. Tidak bisa jual,” terang dia.
Di tengah industri yang masih negatif, mayoritas investor banyak yang melepas sahamnya di sektor properti dan mengalihkan investasinya di saham sektor lain. Namun, kalau boleh dibandingkan, lebih banyak investor yang memilih untuk melepasnya, terutama oleh investor asing.
“Memang, cukup dibuang banyak oleh investor asing,” tutur Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra.
Terbukti, indeks sektor properti terjun bebas jika dilihat sejak awal tahun hingga saat ini. Pada Januari, indeks sektor berada di level 521,547. Artinya, indeks sektor properti melorot sebesar 5,67 persen hingga kini.
Kendati terus menurun, saham emiten yang berada di sektor properti masih terbilang likuid. Pasalnya, beberapa emiten di sektor tersebut masuk dalam indeks LQ45, seperti PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA).
“Tapi, biasanya hanya untuk trading (perdagangan harian),” ucap Aditya.
Menurut dia, saham sektor properti masih memberikan keuntungan untuk perdagangan harian. Namun, bukan berarti saham tersebut dapat memberikan keuntungan jika diinvestasikan untuk jangka menengah atau panjang. Bahkan, tidak juga untuk investasi satu pekan.
Lihat saja, harga saham beberapa emiten properti mengalami pelemahan sepanjang pekan lalu. Salah satunya, yaitu PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) turun 2,4 persen ke level Rp610 per saham.
Penurunan juga terjadi pada saham PT Metropolitan Kentjana Tbk (MKPI) hingga 3,16 persen di level Rp24.500 per saham dan PT Jaya Real Property Tbk 1,19 persen ke level Rp825 per saham. Sementara, Summarecon Agung bergerak stagnan di level Rp1.210 per saham.
Untung di Perdagangan Harian
Aditya menilai, saham sektor properti masih dapat memberikan imbal hasil (return) yang positif jika diperdagangkan secara harian. Hal ini disebabkan pergerakan saham properti yang berfluktuasi tinggi, khususnya saham properti second liner (lapis kedua).
Namun begitu, investor perlu melepas langsung sahamnya kalau kenaikannya sudah mencapai 10 persen. Sementara, jika harga saham sudah terkoreksi dua persen, maka investor juga perlu langsung melepas sahamnya.
“Kalau berniat investasi di sektor properti begitu strateginya. Kalau tidak seperti itu bakal ‘nyangkut’,” papar dia.
Untuk sahamnya sendiri, ia memberikan rekomendasi untuk saham emiten properti lapis kedua. Sebab, pergerakan harga saham first liner (lapis pertama) tidak terlalu fluktuatif.
“Misalnya, untuk Bumi Serpong Damai dan Summarecon Agung yang pergerakannya lebih tipis. Jadi, lebih pendek,” jelasnya.
Di sisi lain, sambung Hans, saham sektor properti menggeliat pada 2018 dan 2019 mendatang. Sehingga, ia merekomendasikan saham properti untuk jangka menengah hingga dua tahun. Namun, ia belum melihat saham sektor properti belum menarik jika dikonsumsi hanya untuk satu tahun.
“Kenaikan pada 2018-2019 nanti didukung kebutuhan rumah yang sebenarnya masih tinggi dan ekspektasi suku bunga yang rendah di sektor properti,” tandas Hans.
Ia menambahkan, investor juga tengah menunggu rilis laporan keuangan emiten properti kuartal II 2017. Kinerja keuangan emiten properti dinilai belum akan membaik atau naik signifikan pada kuartal kedua ini.
“Jadi, untuk harga saham selanjutnya akan bergerak sideways,” pungkas Hans.
Sumber :
cnnindonesia.com