Jakarta, WartaBHINEKA.com – Presiden Joko Widodo ingin sistem korporasi petani terbentuk yakni para petani kecil yang dikumpulkan untuk membentuk satu mekanisme agribisnis dari hulu ke hilir.
Salah satunya adalah petani padi yang diminta membentuk korporasi pengolahan beras.
Menurutnya, sistem itu untuk memberikan nilai tambah yang besar bagi hasil pertanian Indonesia.
Selama ini, paradigma tani Indonesia selalu berkutat di budidaya, yakni hanya menggarap benih dan menjual hasil pertaniannya. Hal itu yang membuat para petani selalu menggantungkan pendapatannya dari Nilai Tukar Petani (NTP).
Namun, jika petani mau masuk ke sektor hilir, tentu itu akan menciptakan keuntungan berkali lipat dibanding hanya sekadar budidaya saja.
“Mari ajak petani berkumpul dalam kelompok tani. Membuat kelompok besar petani harus berpikir dengan aplikasi modern dengan industri dan sekaligus memasarkannya ke industri ritel dengan cara online store dan manajemen yang baik, inilah yang menguntungkan petani,” kata Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, dikutip dari CNNIndonesia.com Selasa (12/9).
Sebagai contoh, korporasi petani padi bisa melanjutkan nilai tambah hasil tani dengan melakukan penggilingan swadaya. Jokowi menyebut seharusnya hal ini bisa dilakukan dengan mudah, karena harga alatnya yang terjangkau dan barangnya tidak eksklusif.
Setelah penggilingan, Jokowi juga berharap korporasi petani padi bisa melakukan proses industri, seperti pengolahan tepung beras. Jika petani mengetahui metode agribisnis, ia yakin kesejahteraan petani bisa meningkat.
“Paradigma ini yang dilakukan, seharusnya petani itu harus memiliki sendiri industri benih itu, memiliki aplikasi-aplikasi produksi yang modern, dan penggilingan sendiri. Proses agribisnis seperti inilah yang memberikan nilai tambah,” pungkasnya.
Pembiayaan Perbankan
Jokowi juga meyakini, perbankan juga akan lebih senang menyalurkan pembiayaannya dengan bisnis model seperti ini. Asal, hitung-hitungannya benar-benar menjanjikan.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Juni 2016 menyebutkan kredit pertanian yang sudah tersalurkan tercatat Rp296,65 triliun, atau tumbuh 11,48 persen dibanding posisi tahun sebelumnya Rp266,09 triliun.
“Harga (pengembangan agribisnis) tidak mahal jika di-back up oleh perbankan, asal hitung-hitungannya feasible asal bank masuk ke sana dan dihitung bankable, itu yang kami cari,” tambahnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sepanjang semester I 2017 bertumbuh 5,11 persen dibanding posisi yang sama tahun sebelumnya. Ini berkontribusi sebesar 0,46 persen di dalam komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01 persen di semester I.
Sementara itu, NTP Agustus 2017 tercatat naik sekitar 0,94 persen dari 100,65 menjadi 101,6 didorong oleh penurunan harga sejumlah bahan pangan.