wartaBHINEKA – Pulau Padar tidak pernah meminta untuk menjadi terkenal. Ia hanya berdiri anggun di tengah Laut Flores, dengan tiga teluk berbentuk sabit yang pasirnya berbeda warna: putih, abu-abu, dan merah muda. Tetapi dunia digital tidak pernah melewatkan keindahan seperti ini.

Sejak pertengahan 2010-an, foto-fotonya menyebar di Instagram, YouTube, hingga brosur perjalanan. Dalam sekejap, Padar menjadi wajah baru Indonesia, disandingkan dengan Halong Bay di Vietnam atau Galápagos di Ekuador.

Popularitas ini bukan sekadar ilusi media sosial. Data Balai Taman Nasional Komodo mencatat lonjakan pengunjung dari 80 ribu orang pada 2014 menjadi 221 ribu pada 2019. Pandemi sempat memangkas angka itu, tetapi pada 2023 jumlah kunjungan kembali menembus 200 ribu. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kawasan ini ikut melesat: Rp30 miliar pada 2018, hampir tiga kali lipat dibanding empat tahun sebelumnya. Angka-angka ini nyata terasa di Manggarai Barat, di mana pariwisata kini menyumbang seperempat PDRB kabupaten.

Untuk ukuran provinsi NTT, kontribusi pariwisata dari kawasan ini mencapai 6,7 persen. Dengan kata lain, Padar bukan sekadar lanskap memesona. Ia sudah menjadi mesin ekonomi.

Investasi dan Polemik

Sejak 2014, pemerintah memberikan izin pemanfaatan wisata alam di Pulau Padar kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), dengan konsesi seluas 274 hektare.

Perusahaan ini datang dengan jargon ekowisata, janji investasi besar, dan rencana membangun fasilitas pariwisata kelas dunia.

Namun sejak saat itu pula perdebatan mencuat. Sebagian kalangan meragukan konsepnya, sebagian lain menolak mentah-mentah. Suara lantang pun bermunculan: “Tidak boleh ada resor sama sekali di Padar.”

Kritik semacam ini sah, bahkan perlu. Tetapi sering berhenti di satu kata: “tolak!” Tanpa tawaran alternatif, tanpa mekanisme nyata untuk menjaga keseimbangan. Padahal, aktivitas pariwisata di Padar sudah berlangsung lama, jauh sebelum wacana resor hadir. Ribuan wisatawan setiap bulan mendaki bukit, berfoto, dan menikmati pemandangan tiga teluk. Dampaknya jelas: penumpukan sampah plastik, tekanan pada jalur trekking, hingga masalah daya dukung kawasan.

Laporan Taman Nasional Komodo tahun 2022 mencatat lebih dari 12 ton sampah plastik diangkut keluar dari kawasan setiap tahun, sebagian besar dari Pulau Padar dan sekitarnya. Sementara itu, kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) yang dipaparkan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, pada 2021 menyebut kapasitas ideal Pulau Padar hanya 39.429 wisatawan per tahun (Kompas, 2021).

Pada musim puncak, angka itu sering kali terlampaui. Bahkan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni meminta agar diterapkan mekanisme antre atau kuota pengunjung demi menjaga ekosistem.

Belakangan, polemik ini juga diperkeruh oleh kabar liar. Misalnya, isu bahwa akan ada pembangunan 600 vila di Padar. Kementerian Kehutanan mengatakan isu tersebut tidak benar, menegaskan pembangunan hanya boleh di zona pemanfaatan terbatas dan tidak lebih dari 5–6 persen dari total area konsesi. Bahkan hingga kini belum ada pembangunan permanen, karena masih dalam tahap konsultasi publik dan kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang mengacu standar internasional WHC dan IUCN.

Grup Artha Graha, yang menaungi PT Komodo Wildlife Ecotourism, juga mengklarifikasi bahwa desain vila yang sempat beredar hanyalah rancangan lama, bukan rencana aktual.

Mereka menyebut fokus mereka saat ini adalah konservasi habitat, pengelolaan sampah dan limbah, serta pelibatan masyarakat lokal. Pernyataan ini sekaligus membantah tuduhan adanya kepentingan politik di balik izin usaha tersebut.

Dengan demikian, jika menolak pembangunan resor dengan alasan menjaga ekosistem, seharusnya kita juga berani menolak aktivitas pariwisata massal yang sudah berlangsung. Jika tidak, sikap itu akan terbaca sebagai diskriminasi: menolak yang resmi, tetapi membiarkan kerusakan akibat kunjungan tanpa kendali.

Konservasi Sebagai Keharusan

Konservasi di Padar jelas bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Pulau ini adalah bagian dari Taman Nasional Komodo yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia sejak 1991. Vegetasi savananya rapuh, habitat reptil endemik bergantung pada keseimbangan ekologis, dan perairan sekitarnya kaya terumbu karang.

Balai Taman Nasional Komodo bersama Yayasan Komodo Survival Program bahkan melaporkan bahwa populasi komodo di Padar dalam tiga tahun terakhir cenderung stabil, dengan indikasi peningkatan pada 2025. Tetapi semua itu hanya bisa bertahan jika tekanan wisata dikelola dengan ketat.

Kebutuhan konservasi itu mahal: patroli laut, penelitian satwa, hingga pemeliharaan jalur trekking memerlukan biaya besar. Pertanyaannya, siapa yang menanggung? Donatur internasional tidak bisa selamanya menjadi penopang. Maka, investasi dengan regulasi ketat adalah jalan paling realistis. Menolak investasi sama artinya menolak sumber pendanaan bagi konservasi itu sendiri.

 

Belajar dari Dunia

Banyak negara telah membuktikan bahwa investasi bisa berjalan seiring dengan konservasi. Kenya, melalui community conservancy, memastikan masyarakat lokal menerima langsung manfaat pariwisata satwa liar, sehingga mereka sendiri menjadi penjaga hutan dan padang rumput. Kosta Rika menjadikan eco-lodge ramah lingkungan sebagai motor ekonomi desa, sekaligus benteng terakhir hutan hujan tropis. Australia bahkan menggunakan sebagian besar pendapatan tiket Great Barrier Reef untuk membiayai konservasi terumbu karang.

Mengapa Indonesia tidak bisa melakukan hal serupa di Padar?

Kuncinya bukan pada penolakan total, melainkan pada regulasi ketat agar pembangunan tidak berubah menjadi perusakan. Zona inti tidak boleh disentuh; semua pembangunan hanya di area pemanfaatan terbatas. Tenaga kerja lokal harus diprioritaskan: pemandu, staf hotel, pekerja kapal, hingga seniman lokal. Kajian AMDAL wajib transparan, terbuka, dan melibatkan publik. Sebagian keuntungan harus dialokasikan ke dana konservasi yang diaudit independen. Dan pengawasan harus dilakukan oleh panel independen yang melibatkan masyarakat, ilmuwan, dan LSM.

Bagi yang menolak segala bentuk investasi, satu pertanyaan sederhana: kalau bukan dari investasi, dari mana dana konservasi akan datang? Apakah cukup dengan donasi sukarela dan doa? Padar bukan museum kaca yang bisa ditutup rapat dari kehidupan manusia. Ia adalah bagian dari ekonomi NTT, tempat masyarakat menggantungkan harapan. Menolak semua investasi sama saja menutup peluang generasi muda untuk keluar dari pekerjaan informal yang tidak menentu.

Pulau Padar adalah laboratorium kebijakan publik Indonesia. Di sini dipertaruhkan kemampuan kita menulis kontrak sosial baru: ekonomi tumbuh, konservasi terjaga, masyarakat ikut sejahtera. Pertaruhan itu nyata: apakah Indonesia mampu membuktikan diri sebagai pengelola warisan dunia yang visioner, atau justru terjebak dalam konflik tanpa ujung yang melelahkan?

Jika prinsip konservasi dan keadilan sosial benar-benar dijadikan fondasi, investasi di Pulau Padar tidak perlu ditakuti. Sebaliknya, ia bisa menjadi contoh ekowisata berkelanjutan: indah di mata dunia, menyejahterakan masyarakat NTT, dan meneguhkan Indonesia di panggung global. Konservasi tidak harus jadi beban. Dengan tata kelola yang benar, ia bisa menjadi investasi masa depan.***

.

 

You May Also Like

More From Author